Perusahaan rintisan fintech B2B Indonesia DigiAsia Bios bersiap-siap untuk berekspansi ke negara-negara Asia Tenggara lainnya yang memiliki demografi dan regulasi yang serupa, termasuk Vietnam, Kamboja, dan Filipina, setelah mengakuisisi sebuah perusahaan dengan tujuan khusus (special purpose acquisition company/SPAC) dan pencatatan saham di bursa Nasdaq tahun ini, ujar seorang eksekutif senior.
Dalam sebuah wawancara dengan DealStreetAsia, Alexander Rusli, pendiri DigiAsia, mengatakan bahwa perusahaannya berencana untuk melengkapi kerjasama bisnis dengan StoneBridge Acquisition Corporation, SPAC sebuah perusahaan publik, pada bulan April ini dan mengumpulkan dana sekitar $200 juta. Dana tersebut akan memungkinkan DigiAsia untuk tumbuh secara anorganik.
“Kami akan mendapatkan sekitar $200 juta dari perusahaan SPAC; bisa lebih atau kurang dari itu. Untuk bisnis operasional, kami tidak akan menggunakan banyak uang, tetapi kami mengincar perusahaan serupa di negara Asia Tenggara lainnya untuk mengembangkan DigiAsia. Ini bukan masalah berapa banyak perusahaan yang akan kami akuisisi, tetapi bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut dapat memberikan dampak pada pendapatan kami,“ katanya.
DigiAsia bertaruh pada keunggulannya sebagai penggerak pertama di industri embedded finance di Indonesia untuk mengembangkan bisnisnya. Perusahaan ini memiliki lisensi untuk beroperasi di empat sektor vertikal di Indonesia - uang elektronik, pinjaman P2P, remitansi, dan LKD, atau lisensi untuk memberikan lisensi kepada toko-toko kecil dan menengah untuk melakukan transaksi keuangan. Afiliasinya termasuk e-wallet dan platform pembayaran KasPro, platform pinjaman P2P KreditPro, dan platform remitansi RemitPro.
Rusli mengatakan bahwa ia memulai DigiAsia pada tahun 2018 setelah berhenti sebagai presiden direktur di PT Indosat Tbk. Ia mengatakan bahwa mendapatkan lisensi e-wallet atau P2P di Indonesia sangat sulit karena Bank Indonesia telah berhenti mengeluarkan lisensi e-wallet baru dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah berhenti mengeluarkan lisensi P2P lending baru.
“Dan untuk mendapatkan lisensi dari perusahaan yang sudah ada sangat mahal, tidak banyak perusahaan yang bisa melakukannya,“ kata Rusli.
Posisi Finansial
Perusahaan ini memiliki 73 pelanggan pengusaha dan menargetkan untuk memiliki lebih dari 100 pelanggan pada akhir tahun ini. Beberapa pelanggan DigiAsia adalah perusahaan kereta api milik Indonesia yaitu PT Kereta Api Indonesia (KAI), jaringan kopi asal Amerika Serikat Starbucks, PT Home Credit Indonesia, perusahaan pembiayaan PT Adira Dinamika Multi Finance, dan lainnya.
Menurut pernyataan DigiAsia pada Januari 2023, entitas gabungan ini telah mendapatkan pre-pendanaan valuasi ekuitas sebesar $500 juta. Semua pemegang saham DigiAsia yang ada, termasuk Mastercard dan Reliance Capital Management, akan memasukkan 100% ekuitas mereka ke dalam perusahaan gabungan.
Menurut DATA VANTAGE DealStreetAsia, DigiAsia Bios yang terdaftar di Singapura Pte Ltd berhasil mengumpulkan pendanaan sebesar $40 juta pada tahun 2020 dan $18 juta pada tahun 2021 dan mencatat kerugian sebesar $ 2,76 juta pada Desember 2020.
Tiga pemegang saham mayoritas DigiAsia adalah Pay Square Capital dengan kepemilikan 25,68%, Interchange Payment Group Holdings 21,3%, dan MasterCard Asia/Pasifik 11,11%.
Pemegang saham utama DigiAsia

Masa depan fintech
Pada acara DealStreetAsia Indonesia PE-VC Summit 2023 di bulan Januari, Iwan Kurniawan, salah satu pendiri dan Chief Operating Officer (COO) Modalku (Funding Societies) mengatakan bahwa lembaga-lembaga keuangan di Indonesia akan bertaruh pada kolaborasi strategis seiring dengan semakin besarnya pasar dan semakin sulitnya mendapatkan lisensi baru.
GGV Capital memprediksi bahwa pada tahun 2023, perusahaan-perusahaan fintech akan berusaha untuk menjadi sistem operasi (OS) keuangan bagi para pelanggannya. Hal ini akan melibatkan pemanfaatan fintech yang sudah tertanam (atau membangunnya sendiri) untuk menyediakan berbagai layanan keuangan, termasuk pengecekan, peminjaman, pembayaran, intelijen bisnis, perangkat lunak keuangan, dan banyak lagi, semua dalam platform yang sama.
Akibatnya, fintech akan menguasai pangsa yang lebih besar dari dompet pelanggan, meningkatkan keterikatan pelanggan, dan pada akhirnya memperluas gross margin untuk menyiapkan panggung bagi IPO blockbuster. Namun, ini masih merupakan awal untuk digitalisasi layanan keuangan global dengan hampir tidak ada fintech besar yang dibangun hingga saat ini.
Laporan BCG dan AC Ventures berjudul “Industri Fintech Indonesia Siap Bangkit“ mengatakan bahwa solusi embedded finance dapat meningkatkan retensi pelanggan dan mengurangi gesekan pada titik penjualan.
Dua industri teratas yang umumnya menggunakan produk embedded finance ini adalah e-commerce B2C, dengan layanan seperti pinjaman B2B kepada pedagang, pinjaman B2C, asuransi, dan aset; dan pengiriman makanan yang terdiri dari produk pinjaman B2B, pinjaman B2C, dan asuransi.